Ketua Public Affairs Forum Indonesia & Dewan Kehormatan Perhumas, Agung Laksamana
Kalau Anda masih ingat, kalimat Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, “Sate, Bakso, … Enak ya!” disambut tepuk tangan gemuruh 7.500 tamu undangan di Gedung Balairung, Universitas Indonesia November 2010 silam. Ini kunjungan perdana Presiden Obama ke Indonesia setelah diangkat menjadi Presiden Amerika Serikat yang ke-44. Ia memulai pidato ungkapkan kedekatan emosionalnya dengan Indonesia. “Pulang kampung nih!” serunya. Lalu, ia menambahkan, “Indonesia bagian dari diri saya!”
Pidato Obama penuh dengan storytelling, mengisahkan pengalaman masa kecilnya di Menteng Dalam, Jakarta. Ia mengenang di mana gedung Sarinah merupakan gedung tertinggi saat itu, dan jalan-jalan tidak selebar seperti sekarang bahkan menangkap capung dan layang-layang bersama teman-temannya.
“Saya juga gemar makan bakso dan sate,” ujarnya. Dengan santai, Ia praktikan teriakan khas tukang jajanan favoritnya itu. “Satee, baksoo…enak ya?” tiru Obama sambil tertawa lepas dan disambut riuh hadirin.
Kekuatan pesan melalui storytelling inilah yang dilakukan Obama selama masa jabatannya. Pidatonya sering memasukkan unsur cerita, analogi serta anekdot pribadi yang menginspirasi dunia. Obama akui salah satu kesalahan pada masa jabatan periode pertamanya adalah berpikir bahwa tugas presiden hanyalah berkaitan dengan membuat kebijakan yang tepat. Tentu, hal itu penting! Tapi tak selamanya memiliki kekuatan memengaruhi hati publik. Menurutnya, esensi dari jabatan Presiden adalah bercerita kepada rakyat Amerika memberikan rasa persatuan (unity), tujuan (purpose), dan optimisme (optimism), terutama di masa-masa sulit.
Lantas mengapa storytelling itu impactful? Saya yakin berapapun usia kita, jika kita mendengar sebuah cerita yang menarik, kita akan terbawa arus emosi. Pikiran kita terbawa jauh melayang melampaui batas waktu bahkan tempat yang berbeda.
Premis itu dibuktikan oleh Profesor Paul J. Zak dari Universitas Claremont Graduate. Risetnya menunjukkan bahwa otak manusia melepaskan oksitosin, hormon yang terkait dengan kepercayaan (trust) dan empati (empathy). Peningkatan oksitosin itu membuat manusia cenderung untuk mempercayai dan mampu bekerjasama dengan orang lain sehingga ini berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan. Riset lainnya oleh Richard E. Mayer menemukan fakta bahwa manusia mampu mengingat informasi 50% lebih baik dalam bentuk cerita dibandingkan visual.
Fakta-fakta ini tentunya menjadi sebuah peluang sekaligus kekuatan besar bagi Public Affairs di Indonesia.
Sebagai contoh, kisah yang ditulis oleh Rolf Jensen, mantan CEO dari Copenhagen Institute for Future Studies, ini bisa memberi inspirasi dari konteks bisnis!
Jensen menceritakan ada sebuah peternakan di Denmark yang menjual 1 butir telur seharga 75 sen atau Rp11.250. Anda pasti shock. Sementara harga normal telur adalah 25 sen atau Rp3.750 per butir. Bahkan untuk ukuran negara Denmark sekalipun ini mahal.
Uniknya, para pembeli telur itu harus datang ke peternakan ayam dan mengambil telur sendiri. Jika si ayam masih mengeram duduk di atas telur-telur tersebut, si pembeli harus secara sopan meminta ayam tersebut agar mau pindah. Bahkan ada pembeli yang ingin tahu nama ayam yang telurnya mereka beli.
Dengan mengajak pembeli masuk ke dalam kandang ayam dan mereka menjadi bagian dari cerita kehidupan pedesaan. Dalam benak emosional pembeli adalah ayam yang bahagia pastinya akan menghasilkan telur yang lezat. Bukan sebaliknya, yaitu mengapa saya harus membayar tiga kali lipat untuk produk yang sama?
Pembeli datang untuk sebuah pengalaman (experience) kehidupan desa. Pengalaman ini mereka ceritakan kepada banyak orang. Mereka datang kembali dan membeli lebih banyak lagi, plus mengajak teman-teman mereka.
Kalau kita hitung-hitung, investasi untuk membuat cerita ini bisa jadi nol rupiah, tetapi ROI (return of investment) yang dicapai 200% profit. Telur hanyalah produk biasa, tetapi dengan storytelling, ia menjadi produk eksklusif dan bernilai. Itulah kekuatan storytelling!
PUBLIC AFFAIRS =BRIDGE= STORYTELLER
Menurut Robert McKee, seorang guru storytelling Hollywood yang terkenal itu bahwa ”today all companies are media companies, but only a few of them know it.” Menurut saya, kutipan Mckee ini relevan betapa pentingnya storytelling bagi Public Affairs.
Apalagi kita sedang dihadapkan pada multidimensi tantangan global dari overload information, kebijakan yang berubah, fakenews, AI (artificial intelligence) hingga hilangnya rasa empati masyarakat. Dunia korporasi pun menghadapi kesulitan dalam mengkomunikasikan positioning kebijakan mereka, baik kepada publik, media, kustomer, regulator, pembuat kebijakan bahkan karyawan mereka sendiri.
Di titik inilah, kreativitas Public Affairs dibutuhkan. Sebagai jembatan (a bridge) Public Affairs harus memahami perubahan tren, substansi, regulasi, menggali isu-isu kompleks, dan menjadikannya mudah dimengerti. Selanjutnya, meramunya dengan perspektif baru, kisah inspiratif, isu-isu baru hingga menjadi narasi yang menarik.
Di sinilah, storytelling menjadi bagian penting dari advokasi, kampanye, dan lobi praktisi Public Affairs. Sehingga kompleks isu yang ditonjolkan tidak saja relevan, tetapi juga sepenuhnya didukung oleh publik. Dengan storytelling, organisasi bisa mengkomunikasikan nilai-nilai mereka dalam konteks riil, bukan abstrak. Memberi motivasi, menyentuh hati, bahkan menginspirasi perubahan kepada target audience-nya.
Inilah peluang besar bagi Public Affairs. Kalau mengutip Rolf Jensen tentang betapa besarnya peluang storytelling itu, ia katakan lagi,“the highest-paid person of the 21st century will be the storyteller!” Apakah Anda sudah siap?