Agung Laksamana, Ketua Public Affairs Forum Indonesia & Dewan Kehormatan Perhumas
Dalam diskusi Public Affairs Forum Indonesia beberapa waktu lalu, seorang peserta bertanya, “Bung AL, mengapa ESG tidak dibahas dalam konteks public affairs? Padahal topik ini sangat kritikal bagi organisasi saat ini?” Pertanyaan ini menarik karena memang benar bahwa selama ini ESG jarang dibahas dalam konteks public affairs.
ESG yang merupakan akronim dari Environmental, Social, dan Governance sudah dikenal cukup lama. ESG sendiri semakin populer setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menerbitkan laporan pada 2004 yang berjudul “Who Cares Wins”. Report PBB ini dianggap sebagai cikal bakal ESG dalam konteks moderen saat ini.
Isi laporan PBB ini mendorong agar semua stakeholder bisnis mengadopsi ESG. Seiring meningkatnya fokus dunia terhadap isu-isu kepedulian terhadap keberlanjutan (sustainability) dan keberagaman (diversity) dalam berbagai bidang, termasuk tempat kerja, kampanye mengenai isu-isu ESG pun semakin intens sejak saat itu.
Selama hampir 20 tahun, istilah ESG semakin dikenal secara global. Bahkan komitmen para CEO perusahaan dunia terhadap ESG semakin tinggi. Misalnya, CEO Bank of America, Brian T. Moynihan pernah berkata, “ESG is no longer a trend; it’s a business imperative. Embracing ESG practices is essential for building trust, attracting investors, and securing our company’s future success.”
McKinsey mengatakan penerapan ESG yang kuat berkorelasi dengan pengembalian harga saham yang lebih tinggi. Kinerja ESG yang lebih baik juga sejalan dengan penurunan risiko, antara lain dengan peringkat kredit yang lebih tinggi yang berujung pada rendahnya suku bunga pinjaman.
Pertanyaannya apakah ESG bisa menjadi peluang bagi dunia public affairs? Yang pasti, bisa dikatakan semua perusahaan dan organisasi sadar akan tanggung jawab mereka dalam mengelola isu-isu ESG. Pentingnya menjaga komunikasi dan hubungan yang positif antara korporasi serta mengelola ekspektasi pemangku kepentingan dalam konteks ESG; membuat manajemen perusahaan melihat disiplin public affairs, corporate affairs, dan kehumasan semakin penting. Dengan kata lain, peran public affairs menjadi kritikal. Bahkan banyak perusahaan berlomba-lomba membuat laporan keberlanjutan (sustainability report) setiap tahunnya.
Bahkan, CEO dari Microsoft Corp., Satya Nadella dalam sebuah diskusi berkata, “ESG is not just about doing good; it’s about doing what’s necessary for sustainable business growth and long-term value creation.” Ini bukan tren semata, namun lebih dari itu! Otomatis ini menjadi peluang yang signifikan bagi praktisi public affairs.
Seperti yang kita ketahui, ESG merupakan kombinasi dari risiko lingkungan dan sosial, serta bagaimana perusahaan harus menjalankan praktik-praktik bisnis dengan tata kelola yang etikal. Dalam konteks supply chain bisnis misalnya, jika tidak dilakukan secara ESG, bisa berdampak terhadap semua proses upstream hingga downstream, aspek lingkungan, perlakuan terhadap karyawan, kesetaraan gender, kepatuhan terhadap hak asasi manusia, dan lainnya. Ini juga mencakup tata kelola bisnis, mulai dari bagaimana masalah hukum seperti suap dan korupsi dipantau dan dikelola hingga memastikan manajemen bertindak adil bagi semua pemangku kepentingan. Kegagalan organisasi dalam memenuhi ekspektasi publik dalam tiga dimensi ESG dapat berakibat pada risiko reputasi, finansial, dan bagi para investor. Bahkan saat ini, industri keuangan dan investasi meminta informasi tentang komitmen dan tindakan perusahaan seputar ESG.
Peran Strategis Public Affairs
Dalam perspektif saya, ESG menjadi peluang bagi industri public affairs dalam beberapa konteks. Pertama, salah satu peran strategis public affairs adalah berinteraksi secara efektif dengan para pemangku kepentingan. Dalam konteks ESG, ini melibatkan cara membangun hubungan yang bermakna dengan beragam pemangku kepentingan, baik konsumen, investor, regulator, masyarakat setempat, asosiasi, dunia akademisi, dan karyawan. Dengan mendorong dialog terbuka dan memperhatikan sudut pandang para pemangku kepentingan, praktisi public affairs dapat membantu perusahaan menyelaraskan strategi ESG mereka dengan harapan masyarakat di lintas sektor.
Kedua, kemampuan praktisi public affairs dalam menggabungkan ketrampilan dan teknologi untuk mendorong dan mengembangkan respons organisasi terhadap ESG. Praktisi public affairs juga ahli komunikasi yang mampu mengatasi isu media, politik, pemangku kepentingan, media sosial, target audiens, dan platform yang dibutuhkan dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian, public affairs memiliki peran strategis, yakni memberikan kontribusi yang lebih besar dalam pengambilan keputusan dan kinerja organisasi atau perusahaan di masa depan.
Ketiga, praktisi public affairs harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang lanskap regulasi dan mampu mengadvokasi perubahan kebijakan yang mendorong praktik berkelanjutan. Dengan berinteraksi dengan pembuat kebijakan, asosiasi industri seperti para profesional ini dapat berkontribusi dalam pengembangan kerangka kerja ESG yang kokoh untuk mendorong perubahan positif pada tingkat sistemik.
Keempat, praktisi public affairs dapat memainkan peran penting dalam membentuk opini publik dengan memengaruhi wacana publik tentang isu-isu ESG, sehingga menciptakan lingkungan yang mendukung praktik berkelanjutan.
Kelima, dalam konteks implementasi ESG itu sendiri, praktisi public affairs dapat mengambil perspektif jangka panjang dalam mengelola hubungan dengan pemangku kepentingan bagi organisasi atau perusahaan. ESG bukanlah pencapaian instan. Namun, jika diimplementasikan secara etis plus tujuan dan komitmen, ini menjadi kunci untuk menciptakan reputasi yang luar biasa dan loyalitas bagi merek Anda.
Keenam, salah satu peran strategis praktisi public affairs adalah berinteraksi secara efektif dengan pemangku kepentingan. Dalam konteks ESG, mereka harus membangun hubungan yang bermakna dengan beragam pemangku kepentingan. Dengan mendorong dialog terbuka dan memperhatikan sudut pandang para pemangku kepentingan, praktisi public affairs dapat membantu perusahaan menyelaraskan strategi ESG mereka dengan harapan masyarakat. Keterlibatan ini akan memfasilitasi identifikasi prioritas keberlanjutan yang penting, memungkinkan organisasi untuk mengatasi perhatian kritis, dan membentuk kemitraan untuk dampak berkelanjutan.
Dalam lanskap bisnis global yang terus berkembang, seperti yang diungkapkan oleh para CEO, bahwa ESG bukan lagi pilihan tetapi menjadi esensial dalam sustainable growth. Kemampuan dan pendekatan strategis public affairs menjadi katalis utama dalam membentuk lanskap ESG di masa depan.
Akhirnya, menurut saya, ESG akan menjadi opportunity yang besar bagi praktisi public affairs, karena public affairs memiliki peran strategis untuk menjadi jembatan dalam mengatasi kesenjangan antara dunia bisnis, policy maker, dan masyarakat. Dengan kemampuan berinteraksi bersama stakeholder, mendesain program komunikasi, advokasi kebijakan, dan berkolaborasi, maka saya yakin praktisi public affairs akan memberikan kontribusi sebagai fasilitator menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab.